Pendapat Pertama
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah meringankan bagi seorang musafir setengah sholat dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil.
Bahkan Al-Kaasaani berkata tentang firman Allah :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS 2:184)
Pendapat kedua
Kesimpulan argument yang diajukan oleh para pemilik pendapat kedua ini adalah bahwasanya pendapat ini adalah pendapat sebagian sahabat diantaranya Ibnu Abbas. Beliau pernah berkata
إذا خَافَتِ الحاملُ على نفسها والمرضِعُ على ولدها في رمضان : يُفطران ويُطعمان مكانَ كل يومٍ مسكيناً، ولا يقضيان صوماً
“Jika seorang wanita hamil mengkawatirkan dirinya dan wanita menyusui mengkawatirkan anaknya di bulan Ramadhan (jika mereka berdua berpuasa) maka mereka berdua berbuka dan membayar fidyah untuk setiap hari dengan memberi makan kepada seorang miskin, dan keduanya tidak mengqodho.” (Diriwayatkan oleh At-Thobari no 2758. Syaikh Al-Albani berkata, “Isnadnya shahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim lihat al-Irwaa 4/19)
Bahkan Ibnu Abbas menganggap bahwa wanita hamil dan wanita menyusui sama hukumnya seperti orang manula yang berat melakukan puasa, dimana mereka hanya diwajibkan untuk membayar fidyah tanpa harus mengqodho. Beliau pernah melihat wanita yang hamil atau menyusui maka beliau berkata,
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ
“Kedudukanmu seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, maka hendaknya engkau memberi makan seorang miskin untuk ganti setiap hari berbuka, dan tidak ada qodho bagimu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam musnadnya 11/227 no 4996 dan Ad-Daruqthni dalam sunannya 3/196 no 2382 dan Ad-Daruquthni berkata, “Ini adalah isnad yang shahih”)
Ibnu Abbas berkata,
الحاملُ والمرضعُ تفطر ولا تَقٌضِي
Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka dan tidak mengqodho (Diriwayatkan oleh Ad-Dahruqthni dalam sunannya 2/196 no 2385, dan dishahihkan oleh beliau)
Ibnu Umar juga berpendapat seperti pendapat Ibnu Abbas.
أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْهُ وَهِيَ حُبْلَى فَقَالَ أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ، وَلاَ تَقْضِي
Ada seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar, maka Ibnu Umar berkata, “Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin untuk mengganti setiap harinya, dan janganlah mengqodhlo” (HR Ad-Daruquthni dalam sunannya 2/196 no 2388. Abdurrozzaq dalam mushonnafnya 4/217 no 7558, 7559, dan 7561 juga meriwayatkan atsar dari Ibnu Umar dengan makna yang sama dengan riwayat diatas)
karena telah datang satu riwayat dari hadits Anas tersebut dengan lafal
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ ، أَوِ الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah menggugurkan setengah sholat bagi musafir dan menggugurkan puasa bagi wanita hamil atau menyusui.
(HR Ahmad no 19047 dan Ibnu Majah no 1667)
Riwayat tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam mushonnaf beliau bahwasanya Ibnu Abbas berkata
تُفْطِرُ الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَتَقْضِيَانِ صِيَاماً وَلاَ تُطْعِمَانِ
“Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka di bulan Ramadhan dan keduanya mengqhodo puasa mereka tanpa memberi makan (tanpa fidyah)” (Al-Mushonnaf 4/218 no 7564)
Riwayat ini adalah riwayat yang lemah atau syadz karea beberapa hal;
Pertama : Riwayat ini adalah riwayat ‘an’anah Ibnu Juraij, dan Ibnu Juraij adalah mudallis. Karena Abdurrozzaq berkata :
عن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس
Dari Ibni Juraij dari ‘Athoo’ dari Ibnu ‘Abaas
Ibnu Juraij -yaitu Abdul Malik bin Abdil Aziz bin Juraij- dimasukkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar pada tobaqoh (tingkatan) ke tiga dari tobaqoot al-Mudallisiin (Tingkatan-tingkatan para mudallis). Ibnu Hajar telah membagi para mudallis menjadi lima tingkatan, dan tingkatan yang ketiga adalah
مَنْ أَكْثَرَ مِنَ التَّدْلِيْسِ فَلَمْ يَحْتَج الأَئِمَّةُ مِنْ أَحَادِيْثِهِمْ إِلاَّ بِمَا صَرَّحُوا فِيْهِ بِالسَّمَاعِ.
“Yaitu para mudallis yang banyak melakukan tadlis sehingga para imam tidak berhujjah dengan hadits-hadits mereka kecuali jika mereka menjelaskan dengan As-Samaa’ (yaitu tatkala meriwayatkan menyebutkan lafal yang menunjukan adanya pendengaran langsung seperti سَمِعْتُ -pent). (Tobaqootul Mudallisiin hal 13)